A.
Pendahuluan
Krisis lingkungan hidup yang
dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan
hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber
alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau
krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau
mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan
kepentingannya sendiri.
Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan
‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa
bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam
seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan
kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai
masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia. Kiranya tidak salah jika manusia dipandang
sebagai kunci pokok dalam kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang
terjadi. Bahkan jika terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup tersebut, YB
Mangunwijaya memandangnya sebagai oposisi atau konflik antara manusia dan alam.
Cara pandang dan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya menyangkut
mentalitas manusia itu sendiri yang mempertanyakan eksistensinya di jaman
modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan yang ada
”di atas” materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal
bagaimana mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan
eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam.
Pada saat ini kesadaran akan lingkungan
yang bersih dan aman sudah meningkat. Masalah pencemaran sudah menarik banyak
kalangan, mulai lapisan bawah sampai pejabat tinggi pemerintah.
Air merupakan subtrat yang paling parah
akibat pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber
domestik (rumah-tangga, perkampungan, kota, pasar dan sebagainya) maupun sumber
non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan serta
sumber-sumber lain) banyak memasuki badan air. Secara langsung ataupun tidak
langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk
keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya. Akibat semakin
tingginya kadar buangan domestik memasuki badan air di negara yang sedang
berkembang, maka tidak mengherankan kalau berbagai jenis penyakit, secara
epidemik ataupun endemik berjangkit dan merupakan masalah rutin dimana-mana.
Di Indonesia misalnya, setiap tahun
lebih dari 3.500.000 anak-anak dibawah umur 3 tahun di serang oleh berbagai
jenis penyakit perut dengan jumlah kematian sekitar 105.000 orang. Jumlah
tersebut akan meningkat lebih banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi
lingkungannya berada pada tingkat rendah.
Berbagai kasus pencemaran lingkungan
banyak diberitakan melalui media-media yang umumnya diakibatkan dari limbah
industri. Barangkali kita masih ingat atau pernah dengar tragedi Minamata (1956) di Jepang, tragedy Love Canal (1976) di Amerika Serikat atau tragedy Bhopal (1984) di India. Semua itu memberikan pelajaran
bagi kita, bahwa manusia tidak hanya mencederai lingkungan, sekaligus juga
sebagai tumbal. Limbah industri mempunyai andil yang cukup besar dalam
pencemaran lingkungan, termasuk juga sisa bahan kimia yang sulit dimusnahkan
seperti pestisida, sisa hasil tambang atau sampah radio aktif berkontribusi
meracuni dan mencemari air bawah tanah.
Emisi gas buang transpotasi dan emisi
pabrik salah satu penyebab pencemaran udara, salah satu sumber mengatakan bahwa
diyakini sekitar 70% pencemaran udara disebabkan emisi kendaraan bermotor. Data
tahun 2001 mengatakan bahwa petumbuhan penjualan mobil berkisar 300% dan sepeda
motor 50%, bayangkan peningkatan polusi akibat gas buang terhadap udara di alam
kita tercinta ini.
Akumulasi
pencemaran itu semua akan menyebabkan atmosfir bumi semakin jenuh dan
mengakibatkan gumpalan awan hujanpun tercemar. Kita semua tahu awan hujan
merupakan mata rantai siklus ketersediaan air Bagaimana kualitas air yang
selama ini kita gunakan dan kita konsumsi?
Pada makalah ini akan dibahas mengenai
etika lingkungan, yaitu bagaimana seharusnya sikap kita terhadap lingkungan
sekitarnya yang merupakan titipan dan anugerah dari sang Pencipta alam.
B.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang
etika lingkungan, marilah kita mengingat kembali tentang apa itu etika. Etika (Yunani Kuno:
"ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah
cabang utama filsafat
yang mempelajari nilai atau kualitas yang
menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika
terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif
(studi penentuan nilai etika), dan etika terapan
(studi penggunaan nilai-nilai etika).
Etika
Lingkungan adalah kajian moralitas yang berkaitan dengan usaha mencapai suatu
kearifan lingkungan. Di dalamnya mencakup moralitas dalam pemanfaatan,
penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan
lingkungan hidup. Penekanannya pada masalah tanggung jawab manusia atas
usahanya terhadap pelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan fisik, hayati
maupun sosial budaya.
Etika Lingkungan sendiri disebut juga
Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu
etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika
pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan
pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan
dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan
semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam
adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami
lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua
unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip
yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu
memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan
hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui
spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang
lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan
tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah
pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana
untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal
ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu
pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli
lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Secara teoritis, terdapat tiga model
teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai
Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep
Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme,
biosentrisme, dan ekosentrisme.(Sony Keraf: 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena--sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979). Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal).
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena--sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979). Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal).
Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika
biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia
tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus
dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai
kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang
saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental.
Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang
manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof
Capra:1997)
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas.
Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme,
pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh
komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis,
makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain.
Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada
makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku
terhadap semua realitas ekologis. Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini
adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai
istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang
filsuf Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah
menyangkut seluruh komunitas ekologis.
Etika ini dirancang sebagai sebuah
etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika
lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini
menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar
sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada
antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih tepat
disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu
gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu
lingkungan dan politik.
Akar gerakan Deep Ecology telah
ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial dari Henry
David Thoureau, John Muir, D.H. Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley.
Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga
sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology (George Session:1995)
Bagaimanapun keseluruhan organisme
kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis alam yang terasa begitu
mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini.
Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang
hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu
sama lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis.
Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika
lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari
teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan
begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas
pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya
pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas
yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang
hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme,
pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya
(ekosentrism).
Etika Lingkungan
Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang
dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan
antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati
bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral
(moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan
terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara
mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan
selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan
perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta
sebagai bagian dari komunitas moral.
Dewasa ini,
timbulnya masalah-masalah persekitaran yang berkembang dengan cepat, yang
dipengaruhi dengan pertumbuhan pesat bilangan penduduk, kerosakkan
persekitaran, eksploitasi bahan alam yang terbatas telah menimbulkan kegusaran
masyarakat yang sangat serius terhadap alam sekitar. Sebagai rumusannya,
alam sekeliling harus menanggung beban yang cukup berat dan ini dapat
mengganggu keharmonian proses-proses biologi atau mikrobiologi yang ada.
Keadaan ini mendorong sikap sebahagian masyarakat menjadi berubah.
Perubahan ini meningkatkan perhatian dan keupayaan mengatasi serta pencegahan
permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh pelbagai faktor dan hal ini sangat
penting untuk dilakukan (Lestari, 2003).
Sejalan dengan peningkatan aktiviti pembangunan, banyak industri yang
dibangunkan tidak hanya di daerah-daerah industri tetapi juga di sekitar pantai
atau teluk. Anggapan yang selama ini berkembang bahwa wilayah pesisir dan
perairan merupakan tempat yang mudah dan murah untuk membuang sisa buangan,
menyebabkan wilayah pantai atau pesisir menjadi tempat yang paling menderita
akibat adanya sisa buangan ini (Rachmat et al., 1998). Hal ini
dapat mengganggu atau berpengaruh terhadap ekosistem daerah tersebut, terutama
jika industri-industri tersebut mengeluarkan sisa-sisa industri yang merupakan
bahan-bahan pencemar yang memberi kesan kepada persekitaran dan juga dapat
mempengaruhi rantai makanan organisma-organisma hidup, yang berperanan sebagai
sumber kepelbagaian dan keseimbangan ekosistem. Selain daripada sisa buangan
dari industri, pencemaran juga berasal dari sisa-sisa domestik dan dari
penggunaan pestisid di kawasan pertanian dimana kesemuanya itu akan terus
bergerak ke muara sungai seterusnya sampai ke lautan.Semakin bertambahnya
kegiatan industri telah menyebabkan semakin banyaknya jumlah sisa buangan yang
dihasilkan. Sisa industri ini menimbulkan masalah yang serius bagi
ekosistem perairan karana menurunkan kualiti air. Kegiatan-kegiatan
tertentu telah menghasilkan sisa-sisa logam berat khususnya Hg, Pb dan
Cu. Sisa logam berat yang tidak diolah masuk perairan laut dan mengalami
pengendapan, pengenceran, dispersi dan metilasi oleh aktiviti mikrob dan
selanjutnya akan diserap oleh organisma di perairan tersebut. Organisma
akan mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan dan akhirnya mencemari
manusia.
Dari berbagai kasus-kasus yang merebak, kasus yang paling populer di
lingkungan adalah kasus yang berhubungan dengan air, karena perairan adalah
komponen persekitaran yang paling mudah terkena kesan daripada kegiatan
manusia, sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Air
merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang keberadaannya melimpah. Seperti
disebutkan dalam Al
Qur’an surat Al Baqarah ayat (22) yang artinya: Dialah yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Namun sekarang telah banyak dicemari
oleh bahan-bahan organic maupun anorganik karena perbuatan manusia yang tidak
bertanggung jawab. Sumber daya alam harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatan
kelestarian fungsi lingkungan hidupnya sehingga sumber daya alam senantiasa
memiliki peran ganda, yang acapkali dilematik, yaitu sebagai modal pertumbuhan
ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem
kehidupan (life support system).
Prinsip Deep Ecology yang ke
dua menyatakan bahwa kekayaan dan
keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di alam mempunyai sumbangan bagi
perwujudan nilai-nilai tersebut. Eksistensi sumber daya alam hayati, sebagai
individu maupun formasinya merupakan bagian dari proses menjaga eksistensi nilai-nilai
bersangkutan sebagai turunannya. Misalnya hilangnya salah satu sumber daya
makanan hewan yang berasal dari tumbuhan akan mendorong hilangnya sumber daya
hewan yang menggunakan sebagai sumber makanannya. (Suryadarma,
2008: 4)
Sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang
punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka
menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan
pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB)
nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total
angkatan kerja yang ada. Namun di lain pihak, peran penyerapan tenaga kerja ini
telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan
ekspansif sehingga fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah
pada kondisi yang mengkhawatirkan.
Setiap sistem perairan memiliki kapasiti terima (receiving capacity)
yang terbatas terhadap bahan pencemar, sehingga peningkatan buangan bahan
pencemar ke perairan akan mengakibatkan kerosakan ekosistem perairan(Sanusi,
1985). Odum (1971) mendefinisikan pencemaran sebagai perubahan-perubahan
sifat fizik, kimia dan biologi yang tidak diinginkan pada udara, tanah dan air.
Perubahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia atau makhuk
hidup lain yang disebabkan adanya sisa buangan dari proses industri dan
kebiasaan hidup manusia. Pencemaram air merupakan segala pengotoran atau
penambahan organisma atau zat-zat lain ke dalam air, sehingga mencapai tingkat
yang mengganggu penggunaan dan pemanfaatan kelestarian perairan tersebut.
Pemcemaran ini meliputipencemaran kimia yang dapat berupa bahan- bahan organik,
mineral, zat-zat beracun; pencemaran biologi yang dapat disebabkan oleh
berkembang biaknya ganggang, tumbuhan pengganggu air; dan kontaminasi perairan
oleh organisme mikro yang berbahaya atau gangguan dari ketiga pencemaran
tersebut.
Pencemaran air
secara umum dapat menimbulkan berbagai pengaruh antara
lain:
1. Berhubungan dengan
estetika seperti perubahan bau, warna dan rasa.
2. Dapat menimbulkan
bahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang.
3. Berbahaya bagi
kesehatan manusia.
4. Dapat menyebabkan
kerosakan pada ekosistem (Suwirna, 1988).
Dewasa ini,
timbulnya masalah-masalah persekitaran yang berkembang dengan cepat, yang dipengaruhi
dengan pertumbuhan pesat bilangan penduduk, kerosakkan persekitaran,
eksploitasi bahan alam yang terbatas telah menimbulkan kegusaran masyarakat
yang sangat serius terhadap alam sekitar. Sebagai rumusannya, alam
sekeliling harus menanggung beban yang cukup berat dan ini dapat mengganggu
keharmonian proses-proses biologi atau mikrobiologi yang ada. Keadaan ini
mendorong sikap sebahagian masyarakat menjadi berubah. Perubahan ini
meningkatkan perhatian dan keupayaan mengatasi serta pencegahan permasalahan
lingkungan yang disebabkan oleh pelbagai faktor dan hal ini sangat penting
untuk dilakukan (Lestari, 2003).
Sejalan industri
tetapi juga di sekitar pantai atau teluk. Anggapan yang selama ini
berkembang bahwa wilayah pesisir dan perairan merupakan tempat yang mudah dan
murah untuk membuang sisa buangan, menyebabkan wilayah pantai atau pesisir
menjadi tempat yang paling menderita akibat adanya sisa buangan ini (Rachmat et
al., 1998). Hal ini dapat mengganggu atau berpengaruh terhadap
ekosistem daerah tersebut, terutama jika industri-industri tersebut
mengeluarkan sisa-sisa industri yang merupakan bahan-bahan pencemar yang
memberi kesan kepada persekitaran dan juga dapat mempengaruhi rantai makanan
organisma-organisma hidup, yang berperanan sebagai sumber kepelbagaian dan
keseimbangan ekosistem. Selain daripada sisa buangan dari industri, pencemaran
juga berasal dari sisa-sisa domestik dan dari dengan peningkatan aktiviti
pembangunan, banyak industri yang dibangunkan tidak hanya di daerah-daerah penggunaan
pestisid di kawasan pertanian dimana kesemuanya itu akan terus bergerak ke
muara sungai seterusnya sampai ke lautan.Semakin bertambahnya kegiatan industri
telah menyebabkan semakin banyaknya jumlah sisa buangan yang dihasilkan.
Sisa industri ini menimbulkan masalah yang serius bagi ekosistem perairan
karana menurunkan kualiti air. Kegiatan-kegiatan tertentu telah
menghasilkan sisa-sisa logam berat khususnya Hg, Pb dan Cu. Sisa logam
berat yang tidak diolah masuk perairan laut dan mengalami pengendapan,
pengenceran, dispersi dan metilasi oleh aktiviti mikrob dan selanjutnya akan
diserap oleh organisma di perairan tersebut. Organisma akan mengalami
biomagnifikasi dalam rantai makanan dan akhirnya mencemari manusia
Diantara sekian banyak kasus lingkungan khususnya lingkungan perairan,
salah satunya adalah kasus pada tahun 2006
yaitu kasus pencemaran sumur warga di Sapen Yogyakarta oleh PT. Yogya
Super Mall selaku pengelola Saphir Square Mall berlangsung berlarut-larut.
Pencemaran sumur warga akibat bocornya sistem pembuangan limbah Saphir Mall,
yang di kuatkan dengan hasil dari uji lab BTKL menyatakan sumur tersebut
tercemar serta tidak layak konsumsi, sehingga mengorbankan 3 KK dan 13 orang
yang tidak mendapatkan air bersih.
Berlarut-larutnya kasus ini banyak dipicu oleh ketidaksungguhan Manajemen
Saphir Square. Faktanya, kesepakatan tertulis kasus pencemaran sumur warga
saphir yang terjadi sekitar november 2005 sampai tahun 2006 belum selesai. Karena itu dalam suratnya kepada manajemen
Saphir Square, tertanggal 8 Februari 2006, Bapak. Moch Yasin mewakili warga
yang sumurnya tercemar mendesak pihak Saphir untuk segera melakukan pemulihan
fungsi air sumur mereka dengan melakukan pengurasan.
Pada kenyataannnya pihak Saphir hanya melakukan pengurasan 1 (satu) kali
pada saat peninjauan lapangan tanggal 16 Januari 2006, setelah itu sumur warga
ditinggal begitu saja, tidak ada upaya untuk melakukan pengurasan lanjutan.
Hasil uji laboratorium dari sumur baru yang seharusnya diterima warga pada 25
Januari 2006, hingga hari ini juga belum diterima. Draf Surat kesepakatan
terakhir antara warga dan pihak Saphir yang diinisiasi Dinas Lingkungan
Yogyakarta untuk penyelesaian kasus ini juga dipandang warga memiliki beberapa
kelemahan. Masih banyak kesalahan tulis dan ada satu point yang belum belum
dicantumkan yaitu jangka waktu pemulihan sumur yang tercemar.
Ironis tapi nyata. Mungkin sudah merupakan hal umum atau semacam rambu
penghindaran yang sudah basi, rata-rata ketika terjadi kasus pencemaran
lingkungan pasti penyelesaiannya akan berlarut-larut. Pihak pencemar senantiasa
melakukan pola tarik ulur ketika korban pencemaran menuntut hak mereka atas
pengembalian fungsi lingkungan tempat tinggal mereka yang tercemar. Meskipun
ada upaya, tapi selalu tidak optimal, hanya sebatas kompensasi atau ganti rugi
saja. Lingkungan yang sehat masih merupakan second priority, tergilas oleh
profit priority yang senantiasa dikedepankan dalam prespektif pembangunan yang
kovensional. Padahal terabaikannya penyelesaian kasus ini secara tepat dan
bijaksana dapat memicu pengabaian penyelesaian kasus lingkungan yang lainnya.
Jika polanya masih seperti ini terus, jangan heran jika dikemudian hari terjadi
eskalasi pengabaian lingkungan yang tercemar. Lingkungan menjadi rusak, dan
fungsi-fungsi penyangga kehidupan tidak berjalan dengan baik. Seharusnya semua
pihak menyadari, bahwa siapa saja memiliki hak atas lingkungan yang baik dan
sehat. Upaya pembangunan yang tepat dan bijaksana juga berkewajiban menjamin
keberadaan lingkungan yang baik dan sehat. Kasus-kasus pencemaran seperti ini
seharusnya cepat dan tanggap diselesaikan, agar siapapun mendapatkan hak yang
telah dijaminkan undang-undang kepadanya.
Dalam konteks kasus ini, undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup mengharuskan pihak pencemar lingkungan (sumur)
untuk segera melakukan recovery atau pemulihan secepat mungkin dengan berbagai
upaya sebagai bagian tangung jawab sosial dan lingkungan. Jadi bukan
semata-mata ditekankan pada persoalan ganti rugi saja. Selama proses pemulihan
fungsi air sumur ini dilakukan, pihak pencemar juga wajib memberikan supply air
baku yang bersih untuk pemenuhan kebutuhan keseharian warga yang sumurnya
tercemar, sebagai kompensasi sementara agar warga dapat terpenuhi kebutuhan supply
air bakunya hingga sumur yang tercemar itu dapat difungsikan kembali.
Oleh karena itu dari WALHI
Yogyakarta mendesak kepada pihak saphir untuk mengambil langkah-langkah
kongkrit untuk memulihkan fungsi air sumur tersebut. Kesungguhan untuk segera melakukan
pemulihan sumur warga ini dapat ditunjukkan dengan adanya pencantuman jangka
waktu dari upaya pemulihan air sumur yang ikuti oleh upaya pengurasan berulang
dan konsisten hingga air itu dinyatakan layak untuk dikonsumsi berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium. Dalam hal ini PEMKOT Yogyakarta berupaya akan
menerapkan konsistensi penegakan hukum lingkungan di kota yogyakarta sebagai
bagian dari proses menuju yogyakarta yang ramah lingkungan. Dengan demikian
pelangaran-pelangaran yang mengakibatkan lingkungan rusak akan dikenakan sangsi
yang tegas untuk proses pembelajaran bagi yang lainnya.
Sungguh enak perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan hidup. Meski
sudah terbukti merusak lingkungan, mereka masih terus beroperasi. Kalaupun
sempat terjerat hukum, vonis yang mereka terima tergolong ringan atau bebas
sama sekali. Kenyataan ini amat memprihatinkan. Hal ini sesuai dengan yang
tercantum di dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (41) yang artinya: “Telah Nampak kerusakan
di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah
merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali ke jalan yang benar.”
Data Kementerian
Lingkungan Hidup yang dirilis baru-baru ini menunjukkan sekitar 40 persen kasus
pencemaran lingkungan hidup divonis bebas di pengadilan. Kalaupun dihukum,
sebagian besar hanya dikenai hukuman percobaan. Jumlah pelaku pencemaran yang
dihukum penjara enam bulan hingga dua tahun penjara bisa dihitung dengan jari.
Sejauh ini
Kementerian Lingkungan hanya bisa menggolongkan mereka sebagai perusahaan
berkategori hitam. Inilah rapor terburuk bagi perusahaan yang tidak memenuhi
syarat keamanan lingkungan. Syarat itu, antara lain, pengolahan limbah beracun
dan air limbah. Bila syarat ini tidak dipenuhi akan berdampak terhadap
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Setiap tahun pemerintah bersama Dewan
Pertimbangan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan soal pengelolaan lingkungan
hidup mengeluarkan rapor bagi perusahaan. Menurut dewan tersebut, perusahaan yang
masuk kategori hitam harus ditutup. Tapi nyatanya banyak di antara mereka masih
saja beroperasi. Perusahaan hitam itu bisa melenggang dengan leluasa antara
lain karena kekuatan uang. Mereka sanggup membiayai hasil penelitian tandingan
demi memoles citra, memperbaiki rapor, ataupun mementahkan tuduhan.
Perusahaan-perusahaan
hitam itu gampang lolos dari jerat hukum lantaran jaksa dan hakim tidak serius
menegakkan keadilan. Mereka seolah tak mau tahu bahwa pencemar lingkungan
merupakan ancaman serius bagi masyarakat. Jaksa dan hakim umumnya menggunakan
Undang-Undang Kehutanan atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menangani
kasus lingkungan. Kedua undang-undang ini memiliki banyak kelemahan, dan
hukumannya kurang keras.
Jika penegak hukum
sungguh-sungguh ingin menjerat pencemar lingkungan, seharusnya mereka
menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Ancaman
hukuman dalam undang-undang ini lebih berat. Lebih dari itu, di sana ada aturan
yang memungkinkan proses hukum secara pidana dan perdata dapat dijalankan
sekaligus. Hasil proses perdata pun bisa digunakan untuk memperkuat proses
pidana.
Khalayak,
khususnya pencinta lingkungan hidup, masih berharap undang-undang itu dilirik
oleh para penegak hukum. Jangan biarkan aturan itu hanya menjadi macan kertas.
Tapi, bila penegak hukum tetap tak peduli, pemerintah perlu menempuh cara lain.
Dulu Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah berencana
menghambat penyaluran kredit perbankan bagi 42 perusahaan hitam lantaran tak
memiliki hak beroperasi. Sebagai langkah terobosan melawan perusahaan pencemar
lingkungan, cara ini mungkin bisa dicoba.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan
kian hari kian memprihatinkan. Bahkan ketika otonomi daerah diberlakukan,
kondisi lingkungan hidup di Indonesia justru semakin mengkhawatirkan. Selain
kasus yang telah diuraikan di atas,masih banyaklagi kasus-kasus yang
berhubungan dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan di bumiini khususnya di
Indonesia kita tercinta. Melihat kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup
mengajak seluruh jajaran Pemerintah Daerah untuk berperan aktif dalam upaya
mencegah terjadinyapencemaran lingkungan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh
adalah dengan tegas menegakkan hukum administrasi.
Namun demikian pihak dari kementrian
lingkungan hidup mengingatkan bahwa penegakan hukum administrasi tidak seperti
pidana. Menurutnya, hukum administrasi ini dapat direkayasa. Untuk itu sebelum
terjadi pencemaran harus direncanakan dulu apa saja yang harus dikerjakan atau
diawasi. Dari badan tersebut harus merencanakan apa saja yang harus diawasi
sebelum terjadi pencemaran. Dengan demikian, jika terjadi kasus pencemaran,
pelakunya dapat langsung ditindak.
Penegakkan hukum administrasi menjadi
lebih penting daripada penegakan hukum pidana dalam kasus pencemaran
lingkungan. Ada perbedaan mendasar antara hukum administrasi dan pidana. Kalau hukum
administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada
indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya boleh
diterapkan setelah ada kejadian.
Di samping itu,
dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar-menawar,
serta langkah penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam
hukum pidana.
Artinya, jika pelaku tindak pencemaran
lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan
sementara dari suatu usaha, yang bersangkutan masih dapat melakukan perbaikan
terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya. ketika hukum administrasi
ternyata tidak berjalan dengan baik dan efektif, maka dipergunakan sarana
sanksi pidana sebagai jalan terakhir," tegasnya. Dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (51) yang
artinya: Dan sungguh, jika kami mengirimkan angin (kepada tumbuh-tumbuhan) lalu
mereka melihat (tumbuh-tumbuhan itu) menjadi kuning (kering), benar-benar
tetaplah mereka sesudah itu menjadi orang yang ingkar. Maka orang-orang yang tidak bertanggung
jawab atas perbuatan mereka pada lingkungan tersebut dapat digolongkan orang
yang ingkar menurut agama karena mereka telah menyalahgunakan alam sehingga
terjadi kerusakan.
Apabila seseorang yang dipidana penjara
selama 10 tahun karena melakukan pencemaran lingkungan, maka dari sisi
lingkungan hidup tidak menjadi hal penting. Hal itu karena kerusakan lingkungan
telah terjadi dan tidak mungkin berubah dengan putusan pidana yang diberikan. Oleh karena
itu, pejabat pemerintah di daerah sudah harus mulai bergerak untuk menyusun
perencanaan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Misalnya, saat
kemarau ini biasanya akan terjadi kebakaran hutan. Jadi perencanaan itu harus
sudah dimulai yakni apa saja yang bisa dilakukan pemerintah, stakeholder
terkait, masyarakat, dan perusahaan. Dengan demikian kasus pencemaran
lingkungan tidak akan terjadi. Apabila masih ada perusahaan atau masyarakat
yang lalai sehingga menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan, maka
tindakan sanksi pidana dapat diterapkan.
Para pejabat pemerintah harus dapat
mengawasi dan memantau agar tidak terjadi kelalaian tersebut. Upaya penegakan
sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan
kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum dalam rangka menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi
menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab
dalam kerusakan lingkungan hidup.
Pejabat publik yang dimaksud adalah
pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal
penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan
ketidakpatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak lingkungan.
Dalam RUU tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang baru ini menurutnya, akan memasukkan pasal yang mengatur
pelanggaran oleh pejabat publik. Ini merupakan langkah maju karena UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal
tersebut.
Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan.
Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan.
Eksploitasi manusia terhadap alam
mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia
adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak
punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia
terhadapnya.
Pembangunan yang merusak merupakan
cermin dangkalnya moral kita sebagai manusia. Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia pada tahun 1973 melalui artikelnya yang terkenal "The Shallow
and the Deep, Long range
Ecological Movement: A Summary" membedakan istilah deep ecological movement dan shallow
ecological movement. Deep
ecology menunjukkan sebuat etika moral yang tidak berpusat pada manusia,
melainkan pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan
mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menarik adalah bahwa manusia bukan
lagi sebagai pusat dari segalanya. Manusia hanya bagian dari ekosistem yang
bersama-sama dengan anggota ekosistem lain perlu untuk menjaga keseimbangan
lingkungan dari kerusakan.
Sementara shallow ecology yang
bersumber pada filsafat antroposentrisme mempunyai pandangan sebaliknya, yakni
melihat manusia sebagai pusat segala-galanya dalam mengelola dan menguasai
alam. Manusialah yang mempunyai wewenang dan kekuasaan dalam mengelola alam,
serta bagaimana alam ini mau dijadikan. Moralitas shallow ecology ini mewarnai
pemikiran mayoritas para ahli pembangunan di seluruh dunia hingga kini.
Karenanya, wajar jika pembangunan yang dilakukan cenderung merusak alam, yang
berakibat terjadinya banjir dan bencana lainnya. Hal ini tentu menunjukkan
dangkalnya moral kita sebagai manusia.
Kembali ke ide deep ecology, kesadaran terhadap
pembangunan berkelanjutan memang sudah muncul, tetapi sering merupakan
kesadaran semu. Di satu sisi pemerintah ingin memastikan kelestarian lingkungan
untuk membela diri dari kritikan, namun di sisi lain, pemerintah tetap
melakukan eksploitasi alam dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
Kondisi tersebut memperlihatkan bukan saja lemahnya kreatifitas pemerintah
dalam mencari alternatif pembangunan ekonomi yang sustainable, lebih
dari itu, ia merupakan sebuah kondisi dimana kesadaran bersama untuk mencegah
terjadinya ketidakseimbangan lingkungan menjadi semakin rendah. Dengan lain
kata, lemahnya kesadaran lingkungan menunjukkan lemahnya moral kita sebagai
manusia. Sesuai
dengan bunyi prinsip Deep ecology yang
ke empat yaitu: perkembangan kehidupan
manusia dan kebudayaannya berbanding lurus dengan penurunan kualitas
lingkungan. Peningkatan jumlah manusia dan ekspansi kebudayaan maupun
eksploitasi sumber daya alam melalui teknologinya cenderung menurunkan kualitas
lingkungan, pemanfaatan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi idealnya juga dapat
membantu eksistensi sumber daya alam dan masyarakat tradisional dalam menjaga
kebudayaannya. (Suryadarma, 2008: 4)
Akibatnya, pencemaran mendunia mulai
dari pencemaran air, udara, tanah, maupun suara. Dan semakin hari pencemaran
tersebut tidak semakin baik namun semakin parah dan berdampak bagi semua
lapisan masyarakat.
Seharusnya manusia sebagai khalifah di bumi bertanggungjawab atas segala
perbuatan yang telah diperbuat secara sengaja ataupun tidak sengaja sehingga
alam menjadi tercemar seperti sekarang, bahkan kelestarian alam pun menjadi
sangat sulit untuk disadarkan pada masyarakat, sehingga kerusakan terjadi
dimana-mana. Padahal kita semua sebenarnya
sangat menginginkan dan mengharapkan alam yang tetap terjaga
kelestariannya, lingkungan yang bersih, nyaman, indah, asri dan sejuk. Seperti
tercantum dalam Al
Qur’an surat Ar Ruum ayat (48) yang artinya: Allah, Dialah yang mengirimkan
angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu
lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun menimpa
(membasahi) hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tina-tiba mereka menjadi
gembira.
Berdasarkan hal yang
telah diuraikan di atas, maka dapat diambil garis besar seperti pada pernyataan
prinsip Deep ecology ke lima, yakni Kehadiran campur tangan manusia terhadap
lingkungannya sudah berjalan semakin besar dan berlangsung semakin cepat dan
memburuk. Perlunya kesadaran baru agar kehadiran manusia tidak hanya mereduksi
dan memperburuk kualitas alam, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjaga
hubungannya dengan realitas lainnya. (Suryadarma, 2008: 4)
C.
Penutup
Eksploitasi manusia terhadap alam
mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa
manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu
yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan
oleh manusia terhadapnya. Etika
Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku,
yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan
antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati
bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral
(moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan
terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara
mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan
selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan
perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta
sebagai bagian dari komunitas moral. Sebagaimana telah
disebutkan di dalam firman Allah di dalam beberapa surat dalam Al Qur’an, bahwa
sebagai khalifah di bumi, kita sudah seharusnya menjaga dan melestarikan
lingkungan sekitar serta SDA di dalamnya karena itu merupakan titipan dan
anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT.
MOHON TAMPILKAN REFERENSI LENGKAP. TRIMS
BalasHapus