Selasa, 14 Februari 2012

ETIKA LINGKUNGAN DAN DEEP ECOLOGY


A.      Pendahuluan
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri.
Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.  Kiranya tidak salah jika manusia dipandang sebagai kunci pokok dalam kelestarian maupun kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Bahkan jika terjadi kerusakan dalam lingkungan hidup tersebut, YB Mangunwijaya memandangnya sebagai oposisi atau konflik antara manusia dan alam. Cara pandang dan sikap manusia terhadap lingkungan hidupnya  menyangkut mentalitas manusia itu sendiri yang mempertanyakan eksistensinya di jaman modern ini dalam kaitannya dengan waktu, tujuan hidup, arti materi dan yang ada ”di atas” materi. Dengan demikian masalah lingkungan hidup tak lain adalah soal bagaimana mengembangkan falsafah hidup yang dapat mengatur dan mengembangkan eksistensi manusia dalam hubungannya dengan alam.
Pada saat ini kesadaran akan lingkungan yang bersih dan aman sudah meningkat. Masalah pencemaran sudah menarik banyak kalangan,  mulai lapisan bawah sampai pejabat tinggi pemerintah.
Air merupakan subtrat yang paling parah akibat pencemaran. Berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber domestik (rumah-tangga, perkampungan, kota, pasar dan sebagainya) maupun sumber non-domestik (pabrik, industri, pertanian, peternakan, perikanan serta sumber-sumber lain) banyak memasuki badan air. Secara langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas air, baik untuk keperluan air minum, air industri ataupun keperluan lainnya. Akibat semakin tingginya kadar buangan domestik memasuki badan air di negara yang sedang berkembang, maka tidak mengherankan kalau berbagai jenis penyakit, secara epidemik ataupun endemik berjangkit dan merupakan masalah rutin dimana-mana.
Di Indonesia misalnya, setiap tahun lebih dari 3.500.000 anak-anak dibawah umur 3 tahun di serang oleh berbagai jenis penyakit perut dengan jumlah kematian sekitar 105.000 orang. Jumlah tersebut akan meningkat lebih banyak pada daerah/tempat yang keadaan sanitasi lingkungannya berada pada tingkat rendah. 
Berbagai kasus pencemaran lingkungan banyak diberitakan melalui media-media yang umumnya diakibatkan dari limbah industri. Barangkali kita masih ingat atau pernah dengar tragedi Minamata (1956) di Jepang, tragedy Love Canal (1976) di Amerika Serikat atau tragedy Bhopal (1984) di India. Semua itu memberikan pelajaran bagi kita, bahwa manusia tidak hanya mencederai lingkungan, sekaligus juga sebagai tumbal. Limbah industri mempunyai andil yang cukup besar dalam pencemaran lingkungan, termasuk juga sisa bahan kimia yang sulit dimusnahkan seperti pestisida, sisa hasil tambang atau sampah radio aktif berkontribusi meracuni dan mencemari air bawah tanah. 
Emisi gas buang transpotasi dan emisi pabrik salah satu penyebab pencemaran udara, salah satu sumber mengatakan bahwa diyakini sekitar 70% pencemaran udara disebabkan emisi kendaraan bermotor. Data tahun 2001 mengatakan bahwa petumbuhan penjualan mobil berkisar 300% dan sepeda motor 50%, bayangkan peningkatan polusi akibat gas buang terhadap udara di alam kita tercinta ini. Akumulasi pencemaran itu semua akan menyebabkan atmosfir bumi semakin jenuh dan mengakibatkan gumpalan awan hujanpun tercemar. Kita semua tahu awan hujan merupakan mata rantai siklus ketersediaan air Bagaimana kualitas air yang selama ini kita gunakan dan kita konsumsi?
Pada makalah ini akan dibahas mengenai etika lingkungan, yaitu bagaimana seharusnya sikap kita terhadap lingkungan sekitarnya yang merupakan titipan dan anugerah dari sang Pencipta alam.
B.       Pembahasan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang etika lingkungan, marilah kita mengingat kembali tentang apa itu etika. Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika  mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). 
Etika Lingkungan adalah kajian moralitas yang berkaitan dengan usaha mencapai suatu kearifan lingkungan. Di dalamnya mencakup moralitas dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup. Penekanannya pada masalah tanggung jawab manusia atas usahanya terhadap pelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan fisik, hayati maupun sosial budaya.
Etika Lingkungan sendiri disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua  yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.  
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.(Sony Keraf: 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena--sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979). Akibatnya, secara teleologis, diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang dangkal).
Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997)
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.  
Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, D.H. Lawrence, Robinson Jeffers, dan Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology (George Session:1995)
Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan yang hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis.

Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya (ekosentrism).
Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.
Dewasa ini, timbulnya masalah-masalah persekitaran yang berkembang dengan cepat, yang dipengaruhi dengan pertumbuhan pesat bilangan penduduk, kerosakkan persekitaran, eksploitasi bahan alam yang terbatas telah menimbulkan kegusaran masyarakat yang sangat serius terhadap alam sekitar.  Sebagai rumusannya, alam sekeliling harus menanggung beban yang cukup berat dan ini dapat mengganggu keharmonian proses-proses biologi atau mikrobiologi yang ada.  Keadaan ini mendorong sikap sebahagian masyarakat menjadi berubah.  Perubahan ini meningkatkan perhatian dan keupayaan mengatasi serta pencegahan permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh pelbagai faktor dan hal ini sangat penting untuk dilakukan (Lestari, 2003). 
Sejalan dengan peningkatan aktiviti pembangunan, banyak industri yang dibangunkan tidak hanya di daerah-daerah industri tetapi juga di sekitar pantai atau teluk.  Anggapan yang selama ini berkembang bahwa wilayah pesisir dan perairan merupakan tempat yang mudah dan murah untuk membuang sisa buangan, menyebabkan wilayah pantai atau pesisir menjadi tempat yang paling menderita akibat adanya sisa buangan ini (Rachmat et al., 1998).  Hal ini dapat mengganggu atau berpengaruh terhadap ekosistem daerah tersebut, terutama jika industri-industri tersebut mengeluarkan sisa-sisa industri yang merupakan bahan-bahan pencemar yang memberi kesan kepada persekitaran dan juga dapat mempengaruhi rantai makanan organisma-organisma hidup, yang berperanan sebagai sumber kepelbagaian dan keseimbangan ekosistem. Selain daripada sisa buangan dari industri, pencemaran juga  berasal dari sisa-sisa domestik dan dari penggunaan pestisid di kawasan pertanian dimana kesemuanya itu akan terus bergerak ke muara sungai seterusnya sampai ke lautan.Semakin bertambahnya kegiatan industri telah menyebabkan semakin banyaknya jumlah sisa buangan yang dihasilkan.  Sisa industri ini menimbulkan masalah yang serius bagi ekosistem perairan karana menurunkan kualiti  air.  Kegiatan-kegiatan tertentu telah menghasilkan sisa-sisa logam berat khususnya Hg, Pb dan Cu.  Sisa logam berat yang tidak diolah masuk perairan laut dan mengalami pengendapan, pengenceran, dispersi dan metilasi oleh aktiviti mikrob dan selanjutnya akan diserap oleh organisma di perairan tersebut.  Organisma akan mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan dan akhirnya mencemari manusia.
Dari berbagai kasus-kasus yang merebak, kasus yang paling populer di lingkungan adalah kasus yang berhubungan dengan air, karena perairan adalah komponen persekitaran yang paling mudah terkena kesan daripada kegiatan manusia, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.  Air merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang keberadaannya melimpah. Seperti disebutkan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat (22) yang artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.
Namun sekarang telah banyak dicemari oleh bahan-bahan organic maupun anorganik karena perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab. Sumber daya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya sehingga sumber daya alam senantiasa memiliki peran ganda, yang acapkali dilematik, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system).
Prinsip Deep Ecology yang ke dua menyatakan bahwa kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di alam mempunyai sumbangan bagi perwujudan nilai-nilai tersebut. Eksistensi sumber daya alam hayati, sebagai individu maupun formasinya merupakan bagian dari proses menjaga eksistensi nilai-nilai bersangkutan sebagai turunannya. Misalnya hilangnya salah satu sumber daya makanan hewan yang berasal dari tumbuhan akan mendorong hilangnya sumber daya hewan yang menggunakan sebagai sumber makanannya. (Suryadarma, 2008: 4)
  
Sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain pihak, peran penyerapan tenaga kerja ini telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang mengkhawatirkan.
Setiap sistem perairan memiliki kapasiti terima (receiving capacity) yang terbatas terhadap bahan pencemar, sehingga peningkatan buangan bahan pencemar ke perairan akan mengakibatkan kerosakan ekosistem perairan(Sanusi, 1985).  Odum (1971) mendefinisikan pencemaran sebagai perubahan-perubahan sifat fizik, kimia dan biologi yang tidak diinginkan pada udara, tanah dan air. Perubahan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan manusia atau makhuk hidup lain yang disebabkan adanya sisa buangan dari proses industri dan kebiasaan hidup manusia. Pencemaram air merupakan segala pengotoran atau penambahan organisma atau zat-zat lain ke dalam air, sehingga mencapai tingkat yang mengganggu penggunaan dan pemanfaatan kelestarian perairan tersebut.  Pemcemaran ini meliputipencemaran kimia yang dapat berupa bahan- bahan organik, mineral, zat-zat beracun; pencemaran biologi yang dapat disebabkan oleh berkembang biaknya ganggang, tumbuhan pengganggu air; dan kontaminasi perairan oleh organisme mikro yang berbahaya atau gangguan dari ketiga pencemaran tersebut. 
Pencemaran air secara umum dapat menimbulkan berbagai pengaruh antara lain:             
1.      Berhubungan dengan estetika seperti perubahan bau, warna dan rasa.
2.      Dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang.
3.      Berbahaya bagi kesehatan manusia.
4.      Dapat menyebabkan kerosakan pada ekosistem (Suwirna, 1988). 
Dewasa ini, timbulnya masalah-masalah persekitaran yang berkembang dengan cepat, yang dipengaruhi dengan pertumbuhan pesat bilangan penduduk, kerosakkan persekitaran, eksploitasi bahan alam yang terbatas telah menimbulkan kegusaran masyarakat yang sangat serius terhadap alam sekitar.  Sebagai rumusannya, alam sekeliling harus menanggung beban yang cukup berat dan ini dapat mengganggu keharmonian proses-proses biologi atau mikrobiologi yang ada.  Keadaan ini mendorong sikap sebahagian masyarakat menjadi berubah.  Perubahan ini meningkatkan perhatian dan keupayaan mengatasi serta pencegahan permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh pelbagai faktor dan hal ini sangat penting untuk dilakukan (Lestari, 2003). 
Sejalan industri tetapi juga di sekitar pantai atau teluk.  Anggapan yang selama ini berkembang bahwa wilayah pesisir dan perairan merupakan tempat yang mudah dan murah untuk membuang sisa buangan, menyebabkan wilayah pantai atau pesisir menjadi tempat yang paling menderita akibat adanya sisa buangan ini (Rachmat et al., 1998).  Hal ini dapat mengganggu atau berpengaruh terhadap ekosistem daerah tersebut, terutama jika industri-industri tersebut mengeluarkan sisa-sisa industri yang merupakan bahan-bahan pencemar yang memberi kesan kepada persekitaran dan juga dapat mempengaruhi rantai makanan organisma-organisma hidup, yang berperanan sebagai sumber kepelbagaian dan keseimbangan ekosistem. Selain daripada sisa buangan dari industri, pencemaran juga  berasal dari sisa-sisa domestik dan dari dengan peningkatan aktiviti pembangunan, banyak industri yang dibangunkan tidak hanya di daerah-daerah penggunaan pestisid di kawasan pertanian dimana kesemuanya itu akan terus bergerak ke muara sungai seterusnya sampai ke lautan.Semakin bertambahnya kegiatan industri telah menyebabkan semakin banyaknya jumlah sisa buangan yang dihasilkan.  Sisa industri ini menimbulkan masalah yang serius bagi ekosistem perairan karana menurunkan kualiti  air.  Kegiatan-kegiatan tertentu telah menghasilkan sisa-sisa logam berat khususnya Hg, Pb dan Cu.  Sisa logam berat yang tidak diolah masuk perairan laut dan mengalami pengendapan, pengenceran, dispersi dan metilasi oleh aktiviti mikrob dan selanjutnya akan diserap oleh organisma di perairan tersebut.  Organisma akan mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan dan akhirnya mencemari manusia
Diantara sekian banyak kasus lingkungan khususnya lingkungan perairan, salah satunya adalah kasus pada tahun 2006  yaitu kasus pencemaran sumur warga di Sapen Yogyakarta oleh PT. Yogya Super Mall selaku pengelola Saphir Square Mall berlangsung berlarut-larut. Pencemaran sumur warga akibat bocornya sistem pembuangan limbah Saphir Mall, yang di kuatkan dengan hasil dari uji lab BTKL menyatakan sumur tersebut tercemar serta tidak layak konsumsi, sehingga mengorbankan 3 KK dan 13 orang yang tidak mendapatkan air bersih.
Berlarut-larutnya kasus ini banyak dipicu oleh ketidaksungguhan Manajemen Saphir Square. Faktanya, kesepakatan tertulis kasus pencemaran sumur warga saphir yang terjadi sekitar november 2005 sampai tahun 2006 belum selesai.  Karena itu dalam suratnya kepada manajemen Saphir Square, tertanggal 8 Februari 2006, Bapak. Moch Yasin mewakili warga yang sumurnya tercemar mendesak pihak Saphir untuk segera melakukan pemulihan fungsi air sumur mereka dengan melakukan pengurasan.
Pada kenyataannnya pihak Saphir hanya melakukan pengurasan 1 (satu) kali pada saat peninjauan lapangan tanggal 16 Januari 2006, setelah itu sumur warga ditinggal begitu saja, tidak ada upaya untuk melakukan pengurasan lanjutan. Hasil uji laboratorium dari sumur baru yang seharusnya diterima warga pada 25 Januari 2006, hingga hari ini juga belum diterima. Draf Surat kesepakatan terakhir antara warga dan pihak Saphir yang diinisiasi Dinas Lingkungan Yogyakarta untuk penyelesaian kasus ini juga dipandang warga memiliki beberapa kelemahan. Masih banyak kesalahan tulis dan ada satu point yang belum belum dicantumkan yaitu jangka waktu pemulihan sumur yang tercemar.
Ironis tapi nyata. Mungkin sudah merupakan hal umum atau semacam rambu penghindaran yang sudah basi, rata-rata ketika terjadi kasus pencemaran lingkungan pasti penyelesaiannya akan berlarut-larut. Pihak pencemar senantiasa melakukan pola tarik ulur ketika korban pencemaran menuntut hak mereka atas pengembalian fungsi lingkungan tempat tinggal mereka yang tercemar. Meskipun ada upaya, tapi selalu tidak optimal, hanya sebatas kompensasi atau ganti rugi saja. Lingkungan yang sehat masih merupakan second priority, tergilas oleh profit priority yang senantiasa dikedepankan dalam prespektif pembangunan yang kovensional. Padahal terabaikannya penyelesaian kasus ini secara tepat dan bijaksana dapat memicu pengabaian penyelesaian kasus lingkungan yang lainnya. Jika polanya masih seperti ini terus, jangan heran jika dikemudian hari terjadi eskalasi pengabaian lingkungan yang tercemar. Lingkungan menjadi rusak, dan fungsi-fungsi penyangga kehidupan tidak berjalan dengan baik. Seharusnya semua pihak menyadari, bahwa siapa saja memiliki hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Upaya pembangunan yang tepat dan bijaksana juga berkewajiban menjamin keberadaan lingkungan yang baik dan sehat. Kasus-kasus pencemaran seperti ini seharusnya cepat dan tanggap diselesaikan, agar siapapun mendapatkan hak yang telah dijaminkan undang-undang kepadanya.
Dalam konteks kasus ini, undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup mengharuskan pihak pencemar lingkungan (sumur) untuk segera melakukan recovery atau pemulihan secepat mungkin dengan berbagai upaya sebagai bagian tangung jawab sosial dan lingkungan. Jadi bukan semata-mata ditekankan pada persoalan ganti rugi saja. Selama proses pemulihan fungsi air sumur ini dilakukan, pihak pencemar juga wajib memberikan supply air baku yang bersih untuk pemenuhan kebutuhan keseharian warga yang sumurnya tercemar, sebagai kompensasi sementara agar warga dapat terpenuhi kebutuhan supply air bakunya hingga sumur yang tercemar itu dapat difungsikan kembali.
Oleh karena itu  dari WALHI Yogyakarta mendesak kepada pihak saphir untuk mengambil langkah-langkah kongkrit untuk memulihkan fungsi air sumur tersebut. Kesungguhan untuk segera melakukan pemulihan sumur warga ini dapat ditunjukkan dengan adanya pencantuman jangka waktu dari upaya pemulihan air sumur yang ikuti oleh upaya pengurasan berulang dan konsisten hingga air itu dinyatakan layak untuk dikonsumsi berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Dalam hal ini PEMKOT Yogyakarta berupaya akan menerapkan konsistensi penegakan hukum lingkungan di kota yogyakarta sebagai bagian dari proses menuju yogyakarta yang ramah lingkungan. Dengan demikian pelangaran-pelangaran yang mengakibatkan lingkungan rusak akan dikenakan sangsi yang tegas untuk proses pembelajaran bagi yang lainnya.
Sungguh enak perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan hidup. Meski sudah terbukti merusak lingkungan, mereka masih terus beroperasi. Kalaupun sempat terjerat hukum, vonis yang mereka terima tergolong ringan atau bebas sama sekali. Kenyataan ini amat memprihatinkan. Hal ini sesuai dengan yang tercantum di dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (41) yang artinya: “Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”
Data Kementerian Lingkungan Hidup yang dirilis baru-baru ini menunjukkan sekitar 40 persen kasus pencemaran lingkungan hidup divonis bebas di pengadilan. Kalaupun dihukum, sebagian besar hanya dikenai hukuman percobaan. Jumlah pelaku pencemaran yang dihukum penjara enam bulan hingga dua tahun penjara bisa dihitung dengan jari.
Sejauh ini Kementerian Lingkungan hanya bisa menggolongkan mereka sebagai perusahaan berkategori hitam. Inilah rapor terburuk bagi perusahaan yang tidak memenuhi syarat keamanan lingkungan. Syarat itu, antara lain, pengolahan limbah beracun dan air limbah. Bila syarat ini tidak dipenuhi akan berdampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Setiap tahun pemerintah bersama Dewan Pertimbangan Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan soal pengelolaan lingkungan hidup mengeluarkan rapor bagi perusahaan. Menurut dewan tersebut, perusahaan yang masuk kategori hitam harus ditutup. Tapi nyatanya banyak di antara mereka masih saja beroperasi. Perusahaan hitam itu bisa melenggang dengan leluasa antara lain karena kekuatan uang. Mereka sanggup membiayai hasil penelitian tandingan demi memoles citra, memperbaiki rapor, ataupun mementahkan tuduhan.
Perusahaan-perusahaan hitam itu gampang lolos dari jerat hukum lantaran jaksa dan hakim tidak serius menegakkan keadilan. Mereka seolah tak mau tahu bahwa pencemar lingkungan merupakan ancaman serius bagi masyarakat. Jaksa dan hakim umumnya menggunakan Undang-Undang Kehutanan atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam menangani kasus lingkungan. Kedua undang-undang ini memiliki banyak kelemahan, dan hukumannya kurang keras.
Jika penegak hukum sungguh-sungguh ingin menjerat pencemar lingkungan, seharusnya mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Ancaman hukuman dalam undang-undang ini lebih berat. Lebih dari itu, di sana ada aturan yang memungkinkan proses hukum secara pidana dan perdata dapat dijalankan sekaligus. Hasil proses perdata pun bisa digunakan untuk memperkuat proses pidana.
Khalayak, khususnya pencinta lingkungan hidup, masih berharap undang-undang itu dilirik oleh para penegak hukum. Jangan biarkan aturan itu hanya menjadi macan kertas. Tapi, bila penegak hukum tetap tak peduli, pemerintah perlu menempuh cara lain. Dulu Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah berencana menghambat penyaluran kredit perbankan bagi 42 perusahaan hitam lantaran tak memiliki hak beroperasi. Sebagai langkah terobosan melawan perusahaan pencemar lingkungan, cara ini mungkin bisa dicoba.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan kian hari kian memprihatinkan. Bahkan ketika otonomi daerah diberlakukan, kondisi lingkungan hidup di Indonesia justru semakin mengkhawatirkan. Selain kasus yang telah diuraikan di atas,masih banyaklagi kasus-kasus yang berhubungan dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan di bumiini khususnya di Indonesia kita tercinta. Melihat kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup mengajak seluruh jajaran Pemerintah Daerah untuk berperan aktif dalam upaya mencegah terjadinyapencemaran lingkungan. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan tegas menegakkan hukum administrasi.
Namun demikian pihak dari kementrian lingkungan hidup mengingatkan bahwa penegakan hukum administrasi tidak seperti pidana. Menurutnya, hukum administrasi ini dapat direkayasa. Untuk itu sebelum terjadi pencemaran harus direncanakan dulu apa saja yang harus dikerjakan atau diawasi. Dari badan tersebut harus merencanakan apa saja yang harus diawasi sebelum terjadi pencemaran. Dengan demikian, jika terjadi kasus pencemaran, pelakunya dapat langsung ditindak.
Penegakkan hukum administrasi menjadi lebih penting daripada penegakan hukum pidana dalam kasus pencemaran lingkungan. Ada perbedaan mendasar antara hukum administrasi dan pidana. Kalau hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum pidana yang hanya boleh diterapkan setelah ada kejadian. Di samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan tawar-menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam-macam, yang tidak ditemukan dalam hukum pidana.
Artinya, jika pelaku tindak pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau pembekuan sementara dari suatu usaha, yang bersangkutan masih dapat melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya. ketika hukum administrasi ternyata tidak berjalan dengan baik dan efektif, maka dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai jalan terakhir," tegasnya. Dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (51) yang artinya: Dan sungguh, jika kami mengirimkan angin (kepada tumbuh-tumbuhan) lalu mereka melihat (tumbuh-tumbuhan itu) menjadi kuning (kering), benar-benar tetaplah mereka sesudah itu menjadi orang yang ingkar. Maka orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka pada lingkungan tersebut dapat digolongkan orang yang ingkar menurut agama karena mereka telah menyalahgunakan alam sehingga terjadi kerusakan.
Apabila seseorang yang dipidana penjara selama 10 tahun karena melakukan pencemaran lingkungan, maka dari sisi lingkungan hidup tidak menjadi hal penting. Hal itu karena kerusakan lingkungan telah terjadi dan tidak mungkin berubah dengan putusan pidana yang diberikan. Oleh karena itu, pejabat pemerintah di daerah sudah harus mulai bergerak untuk menyusun perencanaan dalam mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Misalnya, saat kemarau ini biasanya akan terjadi kebakaran hutan. Jadi perencanaan itu harus sudah dimulai yakni apa saja yang bisa dilakukan pemerintah, stakeholder terkait, masyarakat, dan perusahaan. Dengan demikian kasus pencemaran lingkungan tidak akan terjadi. Apabila masih ada perusahaan atau masyarakat yang lalai sehingga menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan, maka tindakan sanksi pidana dapat diterapkan.
Para pejabat pemerintah harus dapat mengawasi dan memantau agar tidak terjadi kelalaian tersebut. Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketat dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum dalam rangka menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pemerintah saat ini juga masih menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berpotensi menjerat pejabat publik yang melakukan kesalahan dan dianggap bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan hidup.
Pejabat publik yang dimaksud adalah pejabat daerah dan pusat yang melakukan kesalahan antara lain dalam hal penerbitan surat izin operasional, pembuatan persyaratan perizinan, dan ketidakpatuhan terhadap Analisis Mengenai Dampak lingkungan.
Dalam RUU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru ini menurutnya, akan memasukkan pasal yang mengatur pelanggaran oleh pejabat publik. Ini merupakan langkah maju karena UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang ada sekarang ini belum mengatur hal tersebut.
Sementara itu, UU Lingkungan Hidup yang berlaku saat ini belum mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat publik. Yang ada hanya memungkinkan untuk menindak pimpinan perusahaan yang melakukan kejahatan lingkungan.
Eksploitasi manusia terhadap alam mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya.
Pembangunan yang merusak merupakan cermin dangkalnya moral kita sebagai manusia. Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973 melalui artikelnya yang terkenal "The Shallow and the Deep, Long range Ecological Movement: A Summary" membedakan istilah deep ecological movement dan shallow ecological movement. Deep ecology menunjukkan sebuat etika moral yang tidak berpusat pada manusia, melainkan pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menarik adalah bahwa manusia bukan lagi sebagai pusat dari segalanya. Manusia hanya bagian dari ekosistem yang bersama-sama dengan anggota ekosistem lain perlu untuk menjaga keseimbangan lingkungan dari kerusakan.
Sementara shallow ecology yang bersumber pada filsafat antroposentrisme mempunyai pandangan sebaliknya, yakni melihat manusia sebagai pusat segala-galanya dalam mengelola dan menguasai alam. Manusialah yang mempunyai wewenang dan kekuasaan dalam mengelola alam, serta bagaimana alam ini mau dijadikan. Moralitas shallow ecology ini mewarnai pemikiran mayoritas para ahli pembangunan di seluruh dunia hingga kini. Karenanya, wajar jika pembangunan yang dilakukan cenderung merusak alam, yang berakibat terjadinya banjir dan bencana lainnya. Hal ini tentu menunjukkan dangkalnya moral kita sebagai manusia.
Kembali ke ide deep ecology, kesadaran terhadap pembangunan berkelanjutan memang sudah muncul, tetapi sering merupakan kesadaran semu. Di satu sisi pemerintah ingin memastikan kelestarian lingkungan untuk membela diri dari kritikan, namun di sisi lain, pemerintah tetap melakukan eksploitasi alam dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Kondisi tersebut memperlihatkan bukan saja lemahnya kreatifitas pemerintah dalam mencari alternatif pembangunan ekonomi yang sustainable, lebih dari itu, ia merupakan sebuah kondisi dimana kesadaran bersama untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan lingkungan menjadi semakin rendah. Dengan lain kata, lemahnya kesadaran lingkungan menunjukkan lemahnya moral kita sebagai manusia. Sesuai dengan bunyi prinsip Deep ecology yang ke empat yaitu: perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berbanding lurus dengan penurunan kualitas lingkungan. Peningkatan jumlah manusia dan ekspansi kebudayaan maupun eksploitasi sumber daya alam melalui teknologinya cenderung menurunkan kualitas lingkungan, pemanfaatan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi idealnya juga dapat membantu eksistensi sumber daya alam dan masyarakat tradisional dalam menjaga kebudayaannya. (Suryadarma, 2008: 4)
Akibatnya, pencemaran mendunia mulai dari pencemaran air, udara, tanah, maupun suara. Dan semakin hari pencemaran tersebut tidak semakin baik namun semakin parah dan berdampak bagi semua lapisan masyarakat. Seharusnya manusia sebagai khalifah di bumi bertanggungjawab atas segala perbuatan yang telah diperbuat secara sengaja ataupun tidak sengaja sehingga alam menjadi tercemar seperti sekarang, bahkan kelestarian alam pun menjadi sangat sulit untuk disadarkan pada masyarakat, sehingga kerusakan terjadi dimana-mana. Padahal kita semua sebenarnya  sangat menginginkan dan mengharapkan alam yang tetap terjaga kelestariannya, lingkungan yang bersih, nyaman, indah, asri dan sejuk. Seperti tercantum dalam Al Qur’an surat Ar Ruum ayat (48) yang artinya: Allah, Dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun menimpa (membasahi) hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tina-tiba mereka menjadi gembira.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil garis besar seperti pada pernyataan prinsip Deep ecology ke lima, yakni Kehadiran campur tangan manusia terhadap lingkungannya sudah berjalan semakin besar dan berlangsung semakin cepat dan memburuk. Perlunya kesadaran baru agar kehadiran manusia tidak hanya mereduksi dan memperburuk kualitas alam, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjaga hubungannya dengan realitas lainnya. (Suryadarma, 2008: 4)

C.      Penutup
Eksploitasi manusia terhadap alam mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral (moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia. Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, etika lingkungan hidup menuntut adanya perluasan cara pandang dan perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral. Sebagaimana telah disebutkan di dalam firman Allah di dalam beberapa surat dalam Al Qur’an, bahwa sebagai khalifah di bumi, kita sudah seharusnya menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar serta SDA di dalamnya karena itu merupakan titipan dan anugerah yang sangat berharga dari Allah SWT.

1 komentar: